BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’an
sejak pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sampai sekarang ini
mempunyai visi dan misi yang tetap. Artinya bahwa prinsip dasar dan tujuan
utama Al-Qur’an yang hendak disampaikan kepada umat ini tidak pernah berubah. Hanya
saja, semangat Al-Qur’an itu bisa saja berbeda, manakala ditangkap oleh obyek
yang berbeda pula, sehingga pemahaman seseorang terhadap Al-Qur’an pun dapat
saja berbeda atau kurang tepat.
Bahkan untuk
seseorang yang ingin memahami teks al-Qur’an sedikitnya memerlukan lima belas
ilmu-ilmu bantu yang harus dikuasai untuk dapat memahami teks Al-qur’an, salah
satunya adalah ilmu nasakh dan takhsis. Untuk itu penulis ingin sedikit
meberikan penjelasan tentang nasakh dan takhsis dan juga perbedaan diantaranya,
karna melihat pentingnya ilmu-ilmu yang harus diketahui guna membantu untuk
mengetahui lebih tentang teks Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian Nasakh?
2.
Ada
berapa macam Nasakh?
3.
Bagaimana
pengertian Takhsis?
4.
Apa
perbedaan Nasakh dan Taksis?
C. Tujuan
1.
Mengetahui
pengertian Nasakh .
2.
Mengetahui macam-macam
Nasakh.
3.
Mengetahui
pengertian Takhsis.
4.
Mengetahi perbedaaan
Nasakh dan Takhsis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nasakh
Secara bahasa nasakh berarti menghilangkan atau memindahkan, dan merubah suatu
perkara dari satu keadaan.[1]
Sedangkan dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan
atau penghapusan.[2]
Nasakh, secara etimologi berarti
menghilangkan, mengutip dan menyalin. Ilmu ini sangat bermanfaat untuk
pengamalan hadis bila ada dua haidts maqbul yang tanakud yang tidak dapat di kompromikan atau di jama’. Bila dapat dikompromikan, hanya
sampai pada tingkatan Mukhtalif
Al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut
dapat diamalkan. Bila tidak bisa di-jama’
(dikomproikan), hadis maqbul yang tanakud
tersebut di-tarjih atau di-nasakh.[3]
Sedangkan nasakh menurut istilah Ulama Ushul adalah Syari’ menghilangkan suatu hukum syar’y dengan dalil. Dengan
demikian jelas bahwa nasakh berbeda
dengan Takhhshis, karena nasakh terjadi antara dua nashyang
turunya tidak semasa, tetapi yang menasakhkan terkemudian dari yang
dinasakhkan.
Orang pertama yang menganalisis pembicaraaan
tentang nasakh ini adalah Imam Syafi’y di dalam kitabnya Ar Risalah. Beliau memandang nasakh sebagai satu aspek penjelasan
hukum bukan sebagai mensia-siakan nash, tetapi nasikh itu mengakhiri hukum yang ditetapkan nash. Pendapat beliau
ini di ikuti oleh Ibn Hazmin Az Zohiry. Jadi, nasakh merupakan salah satu bentuk penjelasan.
Akan tetapi Ibn Hazmin berpendapat lebih
jauh dimana ia menetapkan bahwa nasakh merupakan
salah satu bentuk thakshish, sehingga
lafaz tidak mencapai keumuman yang dibawanya tetapi menjangkau
hukum dalam keumuman masa sehingga dikatakanya sebagai salah satu bentuk istisna’ (Pengecualian) yaitu
pengecualian sebagai masa. Oleh karena itu, nasakh
adalah istisna’ tetapi tidak
sebaliknya. Maka dalam Sabda Nabi saw :
Arrtinya
:
(saya
pernah melarang kamu beziarah kekubur, sekarang berziarahlah kekubur).
Nash ini menjelaskan berakhirnya
larangan, yaitu dalam arti tertentunya masa larangan ziarah.
Nassakh memang terjadi dalam hukum
Islam, dimana sebagian hukum yang di bawa agama samawi terdahulu dinaskhkanoleh
Islam. Sebagai makanan yang diharamkan terhadap orang Yahudi, dibolehkan oleh
Islam sebagai ganjaran kekerasan hati mereka, seperti yang difirmankan Allah
dalam surat Al-Annam Ayat:146
Artinya :
(Dan
terhadap orang-orang Yahudi, kami haramkan setiap hewan berkuku, lemak sapi dan
kambing..........).[4]
Di
dalam beberapa ketentuan agama Yahudi dapat ditemui kebolehan mengawini wanita
tanpa batas, maka kemutlakan jumlah itu sudah dinashkan oleh Islam dengan
pembatasan sapai empat orang saja. Hukum syari’at umat terdahulu yang di
nashkan Al-Qur’an itu adalah sebagian hukum amaliyah yang berbeda menurut
perkembangan zaman dan perbedaan tempat. Sedangkan hukum-hukum yang bersifat
umum berupa kebaikan dan yang timbul secara naluriah tidaklah menerima nasakh,
seperti halnya akidah, karena merupakan syari’at kemanusaiaan yang bersifat
abadi.
Dalam yang dibawa Nabi Muhammad saw pun
telah terjadi nasakh
tersebut,sepertiyang dibawakan hadist terdahulu, demikian juga nasakh kiblat
dari Baitul Muqaddis ke Baitullah. Ayat-ayat mawaris menurut Jumhur Fuqaha,
telah pula menasakhkan hukum wasiat bagi waris yang semula berlaku dengan
firman Allah dala surah Al-Baqarah,Ayat: 18.
Artinya :
(Allah
mewajibkan atas kamu apabila salah
seorang kamu hampir mati jika ia meninggalkan kebaikan, supaya berwasiat kepada
dua ibu bapaknya dan kaum krabatnya dengan cara ma’ruf, sebagai kewajiban atas
mereka yang bertaqwa.......)
Imam As Suyuthy mengklain bahwa nasakh terjadi terhadap sekitar 20 ayat al Qur’an.
Akan tetapi berdasarkan penelitian yang mendalam, tidak terdapat halangan bagi
penyesuaian masing-masingnya. Selama penyesuaian masih dengan berbagai cara
masih dimungkinkan, maka jalan tersebut harus didahulukan dari tindakan nasakh,
karena nasakh berkonsekuensi tidak diamalkanya nash sedang mngamalkan nash
dengan jalan penyesuaian lebih utama dari tidak mengamalkanya.
Kadang-kadang ada yang mempertanyakan
kenapa terjadi dalam syari’at Islam? Karena abpabila boleh terjadi dalam
undang-undang buatan manusia, maka adalah dengan membuang buku suatu
undang-undang kemudian diganti dengan undang-undang baru. Yang demikian tidak
boleh terjadi dalam syari’at yang diturunkan oleh Yang Maha Tahu segala yang
goib. Undang-undang buatan manusia merupakan exsperimen dimana orang bisa salah
dan bisa benar. Sedangkan syari’at samawi adalah undang-undang Allah yang tidak
terjadi kekeliruan dalam perbuatan dan firmanNya.[5]
Jawabanya adalah : Bahwa syari’at samawi adalah pemberian mashlahat dari
Allah kepada manusia; pokoknya satu tidak bermacam-macam. Tetapi Allah tidak
menciptakan manusia dalam satu macam, yang menuntut keharusan berbedanya
sebagian hukum yang terperinci dala suatu kelomp[ok manusia tetapi tidak
mashlahat bagi manusia kelompok lain. Nasakh
tersebut terjadi dalam sayri’at samawiyah
dala hal-hal yang mengangkut perbedaan latar belakang budaya manusia bukan
dalam hal yang menjadi sendi umat dan bukan yang berkenaan dengan akidah.
Sungguh nasakh itu telah berlaku
dalam syari’at Islam, karena Nabi saw di utus kepada suatu kaum yang belum
beragama, belum berpegang dengan undang-undang dan peraturan yang sekiranya
mereka dihadapkan dengan hukum syari’at sekaligus niscayalah mereka tidak
sanggup memikulnya. Oleh karena itu Allah berlakukan terhadap mereka secara
berangsur hukum yang mereka sanggup memikulnya. Banyak adat istiadat kaum
Quraisy yangbertentangan dengan prikemanusiaan yang adil dan beradab, di rombak
dengan cara pelan-pelan (smooth) dan berangsur-angsur.[6]
B.
Macam-macam
Nasakh
Nasakh itu sendiri
memiliki beberapa macam :
1. Menasakh hukum
dari serual Allah tetapi tidak diganti dengan hukun yang lainya, seperti firman
Allah :
Artinya :
Hay orang-orang yang
beriman, apa bila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rosul hendaklah
kamu mengeluarkan sedekah (Kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang
demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada
memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha penyayang. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamumemberikan
sedekah sebelum pembicaan dengan Rosul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan
Allah telah memberi taubat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerja (TQS. al-Mujadilah [58]: 12-13).
Yakni menaskh keharusan
memberi sedekah ketika bermunajat kepada Rasulullah.
2. Nasakh dengan
mengganti hukum yang lebih ringan. Seperti ketetapan satu orang berhadapan dengan
sepuluh musuh (diganti) menjadi seorang melawan dua musuh. Allah Swt berfirman:
Artinya :
Hai
Nabi, kobarkanlah semangat para mukmi itu untuk berperang. Jika ada dua puluh
orang yang sabar diantara kamu, niscaya
mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh. (TQS. al-Anfal [8] :65)
Artinya
:
Sekarang Allah telah meringankan
kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada
diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang. (TQS.
al-Anfal [8] : 66)
3. Nasakh,
mengganti hukun dengan hukum yang sebanding.seperti menasakh hukum wajibnya
(shalat) menghadap ke Baitul Maqdis dengan kewajiban menghadap ke Ka’bah. Firan
Allah :
Artinya :
Sungguh
kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan
memalingkan kamu kekiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukau ke arahnya. (TQS. al-Baqarah [2] : 144)
4. Nasakh,
mengganti hukum dengan (hukum) yang lebih berat. Pada permulaan Islam hukuman
bagi pezina adalah mengurungnya dirumah dan memberikan kekerasan (hukuman).
Kemudian di nasakh dengan hukum yang
telah diketahui. Firman Allah :
Artinya :
Dan
terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang
saksi diantara kamu (yang menyaksikanya). Kemudian apabila mereka telah
memberikan persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah
sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain
kepadanya. (TQS.
an-Nisa [4]: 16-17)
Hukuman pezina
dalam ayat ini dinasakh denga ayat:
Artinya :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan
jangan belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) Agama
Allah. (TQS. an-Nur [24]: 2)
Penting untuk diketahui bahwa nasakh
berlaku bagi hukum, tidak bagi bacaan. Ini sudah menjadi ketetapan. Sebagai
contoh, hukum pada ayat tentang ‘iddah
denga hual dan hukum tentang wasiat
kepada kedua orang tua telah dinasakh,akan
tetapi kedua ayat tersebut tetap senantiasa dibaca. Begitu pula hukum-hukum
lainya yang dinasakh. Adapun nasakh terhadap bacaan maka tidak ada dalilnya
sedikitpun. Tidak adanya merupakan dalil atas ketidakbolehanya. Hadits-hadits
yang membicarakan tentang topik ini adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan dalam masalah akidah (ushul).[7]
C.
Pengertian
Thaksis
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian
dari pada satuan-satuan yang masuk didalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu
hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang tidak dikeluarkan dari ketentuan
lafadz atau dalil ‘amm.
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan
lafadz khas, tidak bisa terlepas dari thaksis. Menurut ulama ushul fiqih,
thaksis adalah penjelasan sebagian lafadz ‘amm bukan seluruhnya. Atau dengan
kata lian, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz
‘amm dengan dalil.[8]
D.
Perbedaan
Nasakh dengan Takhsis
Nasakh
dan
takhsis memiliki persamaan dan
perbedaan. Persamaanya antara lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk
membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi untuk menghususkan sebagian
kandungan dari suatu lafadz. Hanya saja, takhsis
lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum
pada masa tertentu.
Adapun perbedaan diantara keduanya
adalah: takhsis merupakan penjelasan
mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan
lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh
menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku.
(Al-Bukhari : 876)
Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan
oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di antara keduanya: (Al-Ghazali : 71,
Al-Amidi : 165)
a. Thaksis bisa
dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula terhadap lafadz yang
datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq hanya bisa
dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian.
b. Thaksis bisa
dilakukan baik dengan dalil naqli maupun
dengan dalil aqli, sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.
c. Takhsis tidak
berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja, seperti
“Berilah si fulan:, sedangkan nasakh bisa dilakukan dapa kasus seperti itu.
d. Lafadz
yang umum tetapada sesuai keumumanya walaupun setelah di-takhsis, sedangkan lafadz yang
di-nasakh tidak berlaku lagi.
e. Dibolehkan
men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalil syara’ lainya (pendapat ini masih diperselisihkan
dikalangan para ulama). Sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali dengan lafadz yang qath’i pula.[9]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Secara bahasa nasakh berarti menghilangkan atau
memindahkan, dan merubah suatu perkara dari satu keadaan. Sedangkan dari segi
bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan. Sedangkan
takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk didalam
lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih
ada. Yang tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.
Adapun perbedaan diantara keduanya
adalah: takhsis merupakan penjelasan
mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan
lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh
menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku.
(Al-Bukhari : 876).
DAFTAR PUSTAKA
1. Atha
bin Khalil, Ushul Fiqih, Bogor:
Pustaka Thariqul izzah, 2003
2. Maman
abd djaliel, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:
Pustaka Setia, 2008
3. M.
Agus solahudin, Ulumul Hadits, Bandung:
Pustaka Setia, 2008
4. Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
5. Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta,
sinar Grafika, 2007
[1] Atha bin
Khalil, Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka
Thariqul izzah, 2003), hlm. 342
[2] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia,), hl. 231
[3] M. Agus
solahudin, Ulumul Hadits, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hlm. 119
[4] Sulaiman
Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta,
sinar Grafika, 2007), hlm. 176.
[5] Ibid. Hlm. 178
[6] Ibid
[7] Atha bin
Khalil, Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka
Thariqul izzah, 2003), hlm. 344
[8] Maman
abd djaliel, Ilu Ushul Fiqih, (Bandung:
Pustaka Setia, 2008), hlm. 206
[9] Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung:
Pustaka Setia), hlm. 233.
No comments:
Post a Comment