Monday, June 29, 2015

Makalah Perbedaan Nasakh dengan Takhsis

BAB I
PENDAHULUAN


A.        Latar Belakang


               Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sampai sekarang ini mempunyai visi dan misi yang tetap. Artinya bahwa prinsip dasar dan tujuan utama Al-Qur’an yang hendak disampaikan kepada umat ini tidak pernah berubah. Hanya saja, semangat Al-Qur’an itu bisa saja berbeda, manakala ditangkap oleh obyek yang berbeda pula, sehingga pemahaman seseorang terhadap Al-Qur’an pun dapat saja berbeda  atau kurang tepat.

Bahkan untuk seseorang yang ingin memahami teks al-Qur’an sedikitnya memerlukan lima belas ilmu-ilmu bantu yang harus dikuasai untuk dapat memahami teks Al-qur’an, salah satunya adalah ilmu nasakh dan takhsis. Untuk itu penulis ingin sedikit meberikan penjelasan tentang nasakh dan takhsis dan juga perbedaan diantaranya, karna melihat pentingnya ilmu-ilmu yang harus diketahui guna membantu untuk mengetahui lebih tentang teks Al-Qur’an.



B.  Rumusan Masalah

1.            Bagaimana pengertian Nasakh?
2.            Ada berapa macam  Nasakh?
3.            Bagaimana pengertian Takhsis?
4.            Apa perbedaan Nasakh dan Taksis?    



C.    Tujuan

1.      Mengetahui pengertian Nasakh .
2.      Mengetahui macam-macam Nasakh.
3.      Mengetahui pengertian Takhsis.
4.      Mengetahi perbedaaan Nasakh dan Takhsis.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nasakh
Secara bahasa nasakh berarti menghilangkan atau memindahkan, dan merubah suatu perkara dari satu keadaan.[1] Sedangkan dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan.[2] Nasakh, secara etimologi berarti menghilangkan, mengutip dan menyalin. Ilmu ini sangat bermanfaat untuk pengamalan hadis bila ada dua haidts  maqbul yang tanakud yang tidak dapat di kompromikan atau di jama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkatan Mukhtalif Al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa di-jama’ (dikomproikan), hadis maqbul  yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.[3]
Sedangkan nasakh menurut istilah Ulama Ushul adalah Syari’ menghilangkan suatu hukum syar’y dengan dalil. Dengan demikian jelas bahwa nasakh berbeda dengan Takhhshis, karena nasakh terjadi antara dua nashyang turunya tidak semasa, tetapi yang menasakhkan terkemudian dari yang dinasakhkan.
Orang pertama yang menganalisis pembicaraaan tentang nasakh  ini adalah Imam Syafi’y di dalam kitabnya Ar Risalah. Beliau memandang nasakh sebagai satu aspek penjelasan hukum bukan sebagai mensia-siakan nash, tetapi nasikh itu mengakhiri hukum yang ditetapkan nash. Pendapat beliau ini di ikuti oleh Ibn Hazmin Az Zohiry. Jadi, nasakh merupakan salah satu bentuk penjelasan.
Akan tetapi Ibn Hazmin berpendapat lebih jauh dimana ia menetapkan bahwa nasakh merupakan salah satu bentuk thakshish, sehingga lafaz tidak mencapai keumuman yang dibawanya tetapi  menjangkau hukum dalam keumuman masa sehingga dikatakanya sebagai salah satu bentuk istisna’ (Pengecualian) yaitu pengecualian sebagai masa. Oleh karena itu, nasakh adalah istisna’ tetapi tidak sebaliknya. Maka dalam Sabda Nabi saw :
Arrtinya :
(saya pernah melarang kamu beziarah kekubur, sekarang berziarahlah kekubur).
Nash ini menjelaskan berakhirnya larangan, yaitu dalam arti tertentunya masa larangan ziarah.
Nassakh memang terjadi dalam hukum Islam, dimana sebagian hukum yang di bawa agama samawi terdahulu dinaskhkanoleh Islam. Sebagai makanan yang diharamkan terhadap orang Yahudi, dibolehkan oleh Islam sebagai ganjaran kekerasan hati mereka, seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Annam Ayat:146  
            Artinya :
(Dan terhadap orang-orang Yahudi, kami haramkan setiap hewan berkuku, lemak sapi dan kambing..........).[4]
            Di dalam beberapa ketentuan agama Yahudi dapat ditemui kebolehan mengawini wanita tanpa batas, maka kemutlakan jumlah itu sudah dinashkan oleh Islam dengan pembatasan sapai empat orang saja. Hukum syari’at umat terdahulu yang di nashkan Al-Qur’an itu adalah sebagian hukum amaliyah yang berbeda menurut perkembangan zaman dan perbedaan tempat. Sedangkan hukum-hukum yang bersifat umum berupa kebaikan dan yang timbul secara naluriah tidaklah menerima nasakh, seperti halnya akidah, karena merupakan syari’at kemanusaiaan yang bersifat abadi.
Dalam yang dibawa Nabi Muhammad saw pun telah terjadi nasakh tersebut,sepertiyang dibawakan hadist terdahulu, demikian juga nasakh kiblat dari Baitul Muqaddis ke Baitullah. Ayat-ayat mawaris menurut Jumhur Fuqaha, telah pula menasakhkan hukum wasiat bagi waris yang semula berlaku dengan firman Allah dala surah Al-Baqarah,Ayat: 18.
Artinya :
(Allah mewajibkan atas kamu apabila  salah seorang kamu hampir mati jika ia meninggalkan kebaikan, supaya berwasiat kepada dua ibu bapaknya dan kaum krabatnya dengan cara ma’ruf, sebagai kewajiban atas mereka yang bertaqwa.......)
Imam As Suyuthy mengklain bahwa nasakh  terjadi terhadap sekitar 20 ayat al Qur’an. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang mendalam, tidak terdapat halangan bagi penyesuaian masing-masingnya. Selama penyesuaian masih dengan berbagai cara masih dimungkinkan, maka jalan tersebut harus didahulukan dari tindakan nasakh, karena nasakh berkonsekuensi tidak diamalkanya nash sedang mngamalkan nash dengan jalan penyesuaian lebih utama dari tidak mengamalkanya.
Kadang-kadang ada yang mempertanyakan kenapa terjadi dalam syari’at Islam? Karena abpabila boleh terjadi dalam undang-undang buatan manusia, maka adalah dengan membuang buku suatu undang-undang kemudian diganti dengan undang-undang baru. Yang demikian tidak boleh terjadi dalam syari’at yang diturunkan oleh Yang Maha Tahu segala yang goib. Undang-undang buatan manusia merupakan exsperimen dimana orang bisa salah dan bisa benar. Sedangkan syari’at samawi adalah undang-undang Allah yang tidak terjadi kekeliruan dalam perbuatan dan firmanNya.[5]
Jawabanya adalah : Bahwa syari’at samawi adalah pemberian mashlahat dari Allah kepada manusia; pokoknya satu tidak bermacam-macam. Tetapi Allah tidak menciptakan manusia dalam satu macam, yang menuntut keharusan berbedanya sebagian hukum yang terperinci dala suatu kelomp[ok manusia tetapi tidak mashlahat bagi manusia kelompok lain. Nasakh tersebut terjadi dalam sayri’at samawiyah dala hal-hal yang mengangkut perbedaan latar belakang budaya manusia bukan dalam hal yang menjadi sendi umat dan bukan yang berkenaan dengan akidah.
Sungguh nasakh  itu telah berlaku dalam syari’at Islam, karena Nabi saw di utus kepada suatu kaum yang belum beragama, belum berpegang dengan undang-undang dan peraturan yang sekiranya mereka dihadapkan dengan hukum syari’at sekaligus niscayalah mereka tidak sanggup memikulnya. Oleh karena itu Allah berlakukan terhadap mereka secara berangsur hukum yang mereka sanggup memikulnya. Banyak adat istiadat kaum Quraisy yangbertentangan dengan prikemanusiaan yang adil dan beradab, di rombak dengan cara pelan-pelan (smooth) dan berangsur-angsur.[6]

B.     Macam-macam Nasakh

Nasakh itu sendiri memiliki beberapa macam :
1.      Menasakh hukum dari serual Allah tetapi tidak diganti dengan hukun yang lainya, seperti firman Allah :
Artinya :
Hay orang-orang yang beriman, apa bila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rosul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (Kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamumemberikan sedekah sebelum pembicaan dengan Rosul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerja (TQS. al-Mujadilah [58]: 12-13).
      Yakni menaskh keharusan memberi sedekah ketika bermunajat kepada Rasulullah.
2.      Nasakh dengan mengganti hukum yang lebih ringan. Seperti ketetapan satu orang berhadapan dengan sepuluh musuh (diganti) menjadi seorang melawan dua musuh. Allah Swt berfirman:
Artinya :
 Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmi itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang  yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh. (TQS. al-Anfal [8] :65)
 Artinya :
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang. (TQS. al-Anfal [8] : 66)
3.      Nasakh, mengganti hukun dengan hukum yang sebanding.seperti menasakh hukum wajibnya (shalat) menghadap ke Baitul Maqdis dengan kewajiban menghadap ke Ka’bah. Firan Allah :
Artinya :
            Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu kekiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukau ke arahnya. (TQS. al-Baqarah [2] : 144)
4.      Nasakh, mengganti hukum dengan (hukum) yang lebih berat. Pada permulaan Islam hukuman bagi pezina adalah mengurungnya dirumah dan memberikan kekerasan (hukuman). Kemudian di nasakh dengan hukum yang telah diketahui. Firman Allah :
Artinya :
Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikanya). Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (TQS. an-Nisa [4]: 16-17)
            Hukuman pezina dalam ayat ini dinasakh denga ayat:
Artinya :
   Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan jangan belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) Agama Allah. (TQS. an-Nur [24]: 2)
Penting untuk diketahui bahwa nasakh berlaku bagi hukum, tidak bagi bacaan. Ini sudah menjadi ketetapan. Sebagai contoh, hukum pada ayat tentang ‘iddah denga hual dan hukum tentang wasiat kepada kedua orang tua telah dinasakh,akan tetapi kedua ayat tersebut tetap senantiasa dibaca. Begitu pula hukum-hukum lainya yang dinasakh. Adapun nasakh  terhadap bacaan maka tidak ada dalilnya sedikitpun. Tidak adanya merupakan dalil atas ketidakbolehanya. Hadits-hadits yang membicarakan tentang topik ini adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan dalam masalah akidah (ushul).[7]

C.    Pengertian Thaksis
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk didalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadz khas, tidak bisa terlepas dari thaksis. Menurut ulama ushul fiqih, thaksis adalah penjelasan sebagian lafadz ‘amm bukan seluruhnya. Atau dengan kata lian, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil.[8]

D.    Perbedaan Nasakh dengan Takhsis
Nasakh dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya antara lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi untuk menghususkan sebagian kandungan dari suatu lafadz. Hanya saja, takhsis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)
Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di antara keduanya: (Al-Ghazali : 71, Al-Amidi : 165)
a.       Thaksis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula terhadap lafadz yang datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq hanya bisa dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian.
b.      Thaksis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli, sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.
c.       Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja, seperti “Berilah si fulan:, sedangkan nasakh  bisa dilakukan dapa kasus seperti itu.
d.      Lafadz yang umum tetapada sesuai keumumanya walaupun setelah di-takhsis, sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.
e.       Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalil syara’  lainya (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan  para ulama). Sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali dengan lafadz yang qath’i  pula.[9]






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

            Secara bahasa nasakh berarti menghilangkan atau memindahkan, dan merubah suatu perkara dari satu keadaan. Sedangkan dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan. Sedangkan takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk didalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876).







                                                                            
DAFTAR PUSTAKA


1.      Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Bogor: Pustaka Thariqul izzah, 2003
2.      Maman abd djaliel, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2008
3.      M. Agus solahudin, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2008
4.      Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,  Bandung: Pustaka Setia
5.      Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta, sinar Grafika, 2007




[1] Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka Thariqul izzah, 2003), hlm. 342
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia,), hl. 231
[3] M. Agus solahudin, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 119
[4] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta, sinar Grafika, 2007), hlm. 176.
[5] Ibid. Hlm. 178
[6] Ibid
[7] Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka Thariqul izzah, 2003), hlm. 344
[8] Maman abd djaliel, Ilu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 206
[9] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 233.

No comments:

Post a Comment