Monday, June 29, 2015

Makalah Perbedaan Nasakh dengan Takhsis

BAB I
PENDAHULUAN


A.        Latar Belakang


               Al-Qur’an sejak pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, sampai sekarang ini mempunyai visi dan misi yang tetap. Artinya bahwa prinsip dasar dan tujuan utama Al-Qur’an yang hendak disampaikan kepada umat ini tidak pernah berubah. Hanya saja, semangat Al-Qur’an itu bisa saja berbeda, manakala ditangkap oleh obyek yang berbeda pula, sehingga pemahaman seseorang terhadap Al-Qur’an pun dapat saja berbeda  atau kurang tepat.

Bahkan untuk seseorang yang ingin memahami teks al-Qur’an sedikitnya memerlukan lima belas ilmu-ilmu bantu yang harus dikuasai untuk dapat memahami teks Al-qur’an, salah satunya adalah ilmu nasakh dan takhsis. Untuk itu penulis ingin sedikit meberikan penjelasan tentang nasakh dan takhsis dan juga perbedaan diantaranya, karna melihat pentingnya ilmu-ilmu yang harus diketahui guna membantu untuk mengetahui lebih tentang teks Al-Qur’an.



B.  Rumusan Masalah

1.            Bagaimana pengertian Nasakh?
2.            Ada berapa macam  Nasakh?
3.            Bagaimana pengertian Takhsis?
4.            Apa perbedaan Nasakh dan Taksis?    



C.    Tujuan

1.      Mengetahui pengertian Nasakh .
2.      Mengetahui macam-macam Nasakh.
3.      Mengetahui pengertian Takhsis.
4.      Mengetahi perbedaaan Nasakh dan Takhsis.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nasakh
Secara bahasa nasakh berarti menghilangkan atau memindahkan, dan merubah suatu perkara dari satu keadaan.[1] Sedangkan dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan.[2] Nasakh, secara etimologi berarti menghilangkan, mengutip dan menyalin. Ilmu ini sangat bermanfaat untuk pengamalan hadis bila ada dua haidts  maqbul yang tanakud yang tidak dapat di kompromikan atau di jama’. Bila dapat dikompromikan, hanya sampai pada tingkatan Mukhtalif Al-Hadits, kedua hadits maqbul tersebut dapat diamalkan. Bila tidak bisa di-jama’ (dikomproikan), hadis maqbul  yang tanakud tersebut di-tarjih atau di-nasakh.[3]
Sedangkan nasakh menurut istilah Ulama Ushul adalah Syari’ menghilangkan suatu hukum syar’y dengan dalil. Dengan demikian jelas bahwa nasakh berbeda dengan Takhhshis, karena nasakh terjadi antara dua nashyang turunya tidak semasa, tetapi yang menasakhkan terkemudian dari yang dinasakhkan.
Orang pertama yang menganalisis pembicaraaan tentang nasakh  ini adalah Imam Syafi’y di dalam kitabnya Ar Risalah. Beliau memandang nasakh sebagai satu aspek penjelasan hukum bukan sebagai mensia-siakan nash, tetapi nasikh itu mengakhiri hukum yang ditetapkan nash. Pendapat beliau ini di ikuti oleh Ibn Hazmin Az Zohiry. Jadi, nasakh merupakan salah satu bentuk penjelasan.
Akan tetapi Ibn Hazmin berpendapat lebih jauh dimana ia menetapkan bahwa nasakh merupakan salah satu bentuk thakshish, sehingga lafaz tidak mencapai keumuman yang dibawanya tetapi  menjangkau hukum dalam keumuman masa sehingga dikatakanya sebagai salah satu bentuk istisna’ (Pengecualian) yaitu pengecualian sebagai masa. Oleh karena itu, nasakh adalah istisna’ tetapi tidak sebaliknya. Maka dalam Sabda Nabi saw :
Arrtinya :
(saya pernah melarang kamu beziarah kekubur, sekarang berziarahlah kekubur).
Nash ini menjelaskan berakhirnya larangan, yaitu dalam arti tertentunya masa larangan ziarah.
Nassakh memang terjadi dalam hukum Islam, dimana sebagian hukum yang di bawa agama samawi terdahulu dinaskhkanoleh Islam. Sebagai makanan yang diharamkan terhadap orang Yahudi, dibolehkan oleh Islam sebagai ganjaran kekerasan hati mereka, seperti yang difirmankan Allah dalam surat Al-Annam Ayat:146  
            Artinya :
(Dan terhadap orang-orang Yahudi, kami haramkan setiap hewan berkuku, lemak sapi dan kambing..........).[4]
            Di dalam beberapa ketentuan agama Yahudi dapat ditemui kebolehan mengawini wanita tanpa batas, maka kemutlakan jumlah itu sudah dinashkan oleh Islam dengan pembatasan sapai empat orang saja. Hukum syari’at umat terdahulu yang di nashkan Al-Qur’an itu adalah sebagian hukum amaliyah yang berbeda menurut perkembangan zaman dan perbedaan tempat. Sedangkan hukum-hukum yang bersifat umum berupa kebaikan dan yang timbul secara naluriah tidaklah menerima nasakh, seperti halnya akidah, karena merupakan syari’at kemanusaiaan yang bersifat abadi.
Dalam yang dibawa Nabi Muhammad saw pun telah terjadi nasakh tersebut,sepertiyang dibawakan hadist terdahulu, demikian juga nasakh kiblat dari Baitul Muqaddis ke Baitullah. Ayat-ayat mawaris menurut Jumhur Fuqaha, telah pula menasakhkan hukum wasiat bagi waris yang semula berlaku dengan firman Allah dala surah Al-Baqarah,Ayat: 18.
Artinya :
(Allah mewajibkan atas kamu apabila  salah seorang kamu hampir mati jika ia meninggalkan kebaikan, supaya berwasiat kepada dua ibu bapaknya dan kaum krabatnya dengan cara ma’ruf, sebagai kewajiban atas mereka yang bertaqwa.......)
Imam As Suyuthy mengklain bahwa nasakh  terjadi terhadap sekitar 20 ayat al Qur’an. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang mendalam, tidak terdapat halangan bagi penyesuaian masing-masingnya. Selama penyesuaian masih dengan berbagai cara masih dimungkinkan, maka jalan tersebut harus didahulukan dari tindakan nasakh, karena nasakh berkonsekuensi tidak diamalkanya nash sedang mngamalkan nash dengan jalan penyesuaian lebih utama dari tidak mengamalkanya.
Kadang-kadang ada yang mempertanyakan kenapa terjadi dalam syari’at Islam? Karena abpabila boleh terjadi dalam undang-undang buatan manusia, maka adalah dengan membuang buku suatu undang-undang kemudian diganti dengan undang-undang baru. Yang demikian tidak boleh terjadi dalam syari’at yang diturunkan oleh Yang Maha Tahu segala yang goib. Undang-undang buatan manusia merupakan exsperimen dimana orang bisa salah dan bisa benar. Sedangkan syari’at samawi adalah undang-undang Allah yang tidak terjadi kekeliruan dalam perbuatan dan firmanNya.[5]
Jawabanya adalah : Bahwa syari’at samawi adalah pemberian mashlahat dari Allah kepada manusia; pokoknya satu tidak bermacam-macam. Tetapi Allah tidak menciptakan manusia dalam satu macam, yang menuntut keharusan berbedanya sebagian hukum yang terperinci dala suatu kelomp[ok manusia tetapi tidak mashlahat bagi manusia kelompok lain. Nasakh tersebut terjadi dalam sayri’at samawiyah dala hal-hal yang mengangkut perbedaan latar belakang budaya manusia bukan dalam hal yang menjadi sendi umat dan bukan yang berkenaan dengan akidah.
Sungguh nasakh  itu telah berlaku dalam syari’at Islam, karena Nabi saw di utus kepada suatu kaum yang belum beragama, belum berpegang dengan undang-undang dan peraturan yang sekiranya mereka dihadapkan dengan hukum syari’at sekaligus niscayalah mereka tidak sanggup memikulnya. Oleh karena itu Allah berlakukan terhadap mereka secara berangsur hukum yang mereka sanggup memikulnya. Banyak adat istiadat kaum Quraisy yangbertentangan dengan prikemanusiaan yang adil dan beradab, di rombak dengan cara pelan-pelan (smooth) dan berangsur-angsur.[6]

B.     Macam-macam Nasakh

Nasakh itu sendiri memiliki beberapa macam :
1.      Menasakh hukum dari serual Allah tetapi tidak diganti dengan hukun yang lainya, seperti firman Allah :
Artinya :
Hay orang-orang yang beriman, apa bila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rosul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (Kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha penyayang. Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamumemberikan sedekah sebelum pembicaan dengan Rosul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerja (TQS. al-Mujadilah [58]: 12-13).
      Yakni menaskh keharusan memberi sedekah ketika bermunajat kepada Rasulullah.
2.      Nasakh dengan mengganti hukum yang lebih ringan. Seperti ketetapan satu orang berhadapan dengan sepuluh musuh (diganti) menjadi seorang melawan dua musuh. Allah Swt berfirman:
Artinya :
 Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmi itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang  yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus musuh. (TQS. al-Anfal [8] :65)
 Artinya :
Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang. (TQS. al-Anfal [8] : 66)
3.      Nasakh, mengganti hukun dengan hukum yang sebanding.seperti menasakh hukum wajibnya (shalat) menghadap ke Baitul Maqdis dengan kewajiban menghadap ke Ka’bah. Firan Allah :
Artinya :
            Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami akan memalingkan kamu kekiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukau ke arahnya. (TQS. al-Baqarah [2] : 144)
4.      Nasakh, mengganti hukum dengan (hukum) yang lebih berat. Pada permulaan Islam hukuman bagi pezina adalah mengurungnya dirumah dan memberikan kekerasan (hukuman). Kemudian di nasakh dengan hukum yang telah diketahui. Firman Allah :
Artinya :
Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikanya). Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya. (TQS. an-Nisa [4]: 16-17)
            Hukuman pezina dalam ayat ini dinasakh denga ayat:
Artinya :
   Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan jangan belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) Agama Allah. (TQS. an-Nur [24]: 2)
Penting untuk diketahui bahwa nasakh berlaku bagi hukum, tidak bagi bacaan. Ini sudah menjadi ketetapan. Sebagai contoh, hukum pada ayat tentang ‘iddah denga hual dan hukum tentang wasiat kepada kedua orang tua telah dinasakh,akan tetapi kedua ayat tersebut tetap senantiasa dibaca. Begitu pula hukum-hukum lainya yang dinasakh. Adapun nasakh  terhadap bacaan maka tidak ada dalilnya sedikitpun. Tidak adanya merupakan dalil atas ketidakbolehanya. Hadits-hadits yang membicarakan tentang topik ini adalah hadits ahad yang tidak bisa dijadikan pegangan dalam masalah akidah (ushul).[7]

C.    Pengertian Thaksis
Takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk didalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.
Ketika membicarakan lafadz ‘am dan lafadz khas, tidak bisa terlepas dari thaksis. Menurut ulama ushul fiqih, thaksis adalah penjelasan sebagian lafadz ‘amm bukan seluruhnya. Atau dengan kata lian, menjelaskan sebagian dari satuan-satuan yang dicakup oleh lafadz ‘amm dengan dalil.[8]

D.    Perbedaan Nasakh dengan Takhsis
Nasakh dan takhsis memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaanya antara lain, terletak pada fungsinya, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum. Keduanya berfungsi untuk menghususkan sebagian kandungan dari suatu lafadz. Hanya saja, takhsis lebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa tertentu.
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)
Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang perbedaan di antara keduanya: (Al-Ghazali : 71, Al-Amidi : 165)
a.       Thaksis bisa dilakukan terhadap lafadz yang belakangan dan bisa pula terhadap lafadz yang datang beriringan (datang belakangan). Sedangkan nasakh mutlaq hanya bisa dilakukan melalui lafadz yang datang kemudian.
b.      Thaksis bisa dilakukan baik dengan dalil naqli maupun dengan dalil aqli, sedangkan nasakh hanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.
c.       Takhsis tidak berlaku pada perintah (amr) yang mengandung suatu perintah saja, seperti “Berilah si fulan:, sedangkan nasakh  bisa dilakukan dapa kasus seperti itu.
d.      Lafadz yang umum tetapada sesuai keumumanya walaupun setelah di-takhsis, sedangkan lafadz yang di-nasakh tidak berlaku lagi.
e.       Dibolehkan men-takhsis lafadz yang qath’i dengan qiyas hadis ahad, dan dalil-dalil syara’  lainya (pendapat ini masih diperselisihkan dikalangan  para ulama). Sedangkan dalam nasakh tidak boleh men-takhsis suatu lafadz yang qath’i, kecuali dengan lafadz yang qath’i  pula.[9]






BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

            Secara bahasa nasakh berarti menghilangkan atau memindahkan, dan merubah suatu perkara dari satu keadaan. Sedangkan dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan atau penghapusan. Sedangkan takhsis adalah mengeluarkan sebagian dari pada satuan-satuan yang masuk didalam lafadz ‘amm dan lafadz ‘amm itu hanya berlaku bagi satuan-satuan yang masih ada. Yang tidak dikeluarkan dari ketentuan lafadz atau dalil ‘amm.
Adapun perbedaan diantara keduanya adalah: takhsis merupakan penjelasan mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai dengan lafadz yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakh menghapus atau membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nasakh dan yang sebelunya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876).







                                                                            
DAFTAR PUSTAKA


1.      Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, Bogor: Pustaka Thariqul izzah, 2003
2.      Maman abd djaliel, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2008
3.      M. Agus solahudin, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2008
4.      Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih,  Bandung: Pustaka Setia
5.      Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, Jakarta, sinar Grafika, 2007




[1] Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka Thariqul izzah, 2003), hlm. 342
[2] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung: Pustaka Setia,), hl. 231
[3] M. Agus solahudin, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 119
[4] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam, (Jakarta, sinar Grafika, 2007), hlm. 176.
[5] Ibid. Hlm. 178
[6] Ibid
[7] Atha bin Khalil, Ushul Fiqih, (Bogor: Pustaka Thariqul izzah, 2003), hlm. 344
[8] Maman abd djaliel, Ilu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 206
[9] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia), hlm. 233.

Friday, April 24, 2015

Makalah FILSAFAT ISLAM



FILSAFAT ISLAM
 


BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Awalnya filsafat disebut sebagai induk ilmu pengetahuan (mother of science) sebab filsafat seakan-akan mampu menjawab pertanyaan tentang segala sesuatu atau segala hal, baik yang berhubungan dengan alam semesta, maupun manusia dengan segala problematika dan kehidupannya. Namun seiring dengan perubahan zaman, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melahirkan berbagai disiplin ilmu baru dengan masing-masing spesialisasinya, filsafat seakan-akan telah berubah fungsi dan perannya.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah Filsafat Islam  ?
2. Siapa sajakah Tokoh Filsafat Islam ?
3. Apa definisi tentang filsafat Islam ?
4. Fungsi filfasat pendidikan Islam ?

C. Tujuan

1. Untuk dapat nilai yang baik dari Dosen Pembimbing.
2. Untuk lebih melekatnya ilmu Pengetahuan dengan pembuatan makalah.
        
        



BAB 2
PEMBAHASAN

A. Sejarah Singkat Filsafat Islam

Sejarah filsafat bermula di pesisir Samudra Mediterania bagian Timur pada abad ke-6 SM. Sejak semula filsafat ditandai dengan rencana umat manusia untuk menjawab persoalan seputar alam, manusia, dan Tuhan. Itulah sebanya filsafat pada gilirannya mampu melahirkan sains-sains besar, seperti fisika, etika, matematika dan metafisika yang menjadi batu bata kebudayaan dunia.

Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al rasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalangan umat Islam.
Ketika filsafat bersentuhan dengan Islam maka yang terjadi bahwa filsafat terinspirasi oleh pokok-pokok persoalan yang bermuara pada sumber-sumber Wahyu Islam. Semua filosof muslim seperti al Kindi, al Farabi, Ibn Sina, Mulla Sadra,Suhrawardi dan lain sebagainya hidup dan bernafas dalam realitas al Quran dan Sunnah. Kehadiran al Quran dan Sunnah telah mengubah pola berfilsafat dalam konteks Dunia Islam. Realitas dan proses penyampaian al Quran merupakan perhatian utama para pemikir Islam dalam melakukan kegiatan berfilsafat.

B.Tokoh-tokoh dan Definisi Filsafat Islam

Definisi filsafat islam menurt tokoh-tokoh filsafat pada awal masuknya filsafat ke dalam ranah berfikir orang islam adalah sebagai berikut :

1.                  Al-Kindi

Nama lengkap Abu Yusuf, Ya’kub Ibnu Ishak Al-Sabbah. Ibnu Imran, Ibnu Al-Asha,ath, Ibnu Kays, Al-Kindi. Beliau biasa disebut Ya’kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di kufah. Keturunan dari suku Kays, dengan Gelar Abu Yusuf (bapak dari anak yang bernama Yusuf) Nama orang tuanya Ishaq Ashshabbah, dan ayahnya menjabat Gubernur di Kugah, pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Ar-Rasyid dari Bani’ Abbas.

            Nama Al-Kindi adalah merupakan nama yang diambil darinama sebuah suku, yaitu :Banu Kaidah, Banu Kaidah adalah suku keturuna Kindah, yang berlokasi di daerah selatan Jajirah Arab dan mereka ini mempunyai kebudayaan yang tingi.

Al-Kindi mendefinisikan filsafat dari berbagai sudut pandang,namun Ia lebih menspesifikasikan filsafat sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan besifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupu kausa-kausanya.Defiisi ini di ambil dari sudut pandang materinya.


2.      Al-Farabi

Nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasij, Distrik Farab (sekarang kota Atrar), Turkistan pada 257 H. Pada tahun 330 H, ia pindah ke Damaskus dan berkenalan dengan Saif al-Daulah al-Hamdan, sultan dinasti Hamdan di Allepo. Sultan memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang sangat besar, tetapi Al-Farabi memilih hidup sederhana dan tidak tertarik dengan kemewahan dan kekayaan. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf Islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya secara sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibn Rusyd banyak mengambil dan mengupas sistem filsafatnya.

Al-Farabi mendefinisikn filsafat sebagai : Al Ilmu bilmaujudaat bima Hiya Al Maujudaat,yaitu suatu ilmu yang menyelidiki hakikat sebenarnay dari segala yang ada ini.
Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat falsafah al taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat.
Al farabi berpandapat bahwa pada hakikatnya filsafat itu adalah satu kesatuan, oleh karena itu para filosof besar harus menyatujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran

3. Ikhwan Al-Shafa’

Ikhwan al-Shafa’ (Persaudaraan Suci) adalah nama kelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M) di Basrah. Kelompok ini juga menamakan dirinya Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan Abna’ al-Hamd. Salah satu ajaran Ikwan al-Shafa adalah paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan).
Ikhwan Al-Shafa’ adalah golongan dalam filsafat yang menyatakan filsafat itu bertingkat-tingkat,yaitu :

1. Cinta ilmu
2. mengetahui hkikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia
3. berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu.

4.Ibnu Rusyd

Nama asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun setelah kematiannya imam ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal dengan sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova. Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.

Aliran filsafat Ibn Rusyd adalah rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dan menghargai peranan akal, karena dengan akal fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam maujud. Akal fikiran bekerja atas dasar pengertian umum (maani kulliyah) yang didalamnya tercakup semua hal ihwal yang bersifat partial (juziyah). Ia menjelaskan bahwa kuliyyat adalah gambaran akal, tidak berwujud kenyataan diluar akal.




5.Ibu Maskawih

Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Dari buku yang kami dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan biograpinya. Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar sejarah terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi dan belajar filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya aristoteles.

Maskawih membedakan antar pengertian hikmah dan filsafat. Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membedakan mana yang baik dan man yang buruk.
Mengenai filsafat Ia tidak memberikan pengertian secara tegas.Ia membagi filsafat menjadi dua bagian yaitu teoritis dan praktis. Teoritis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikrannya benar. Sedangkan bagia praktis merupakan kesempurnan manusia yang mengisi potensinya untk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.

6. Ibnu Sina

Nama lengkapnya Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan didesa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran dipelajarinnya sendiri.

Definisi Ibnu Sina adalah Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud. Tetapi sifat ontelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannnya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelgensi pertama memunculkan dua kewujudan yaitu:

a.      Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas.
b. Lingkungan pertama dan tertingi berdasarkan segi terendah adanya, kemungkinan alamiyah. Dua proses pamancaran ini berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut sebagai malaikat Jibril.

7. Al-Ghazali
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad ath-Thousy. Beliau dilahirkan pada tahun 450 H/1059 M di suatu kampung bernama Ghazalah, Thusia, suatu kota di Khurasan, Persia. Ia mendapat gelar Imam Abu Hamid al-Ghazali Hujjatul Islam. Orang tuanya gemar mempelajari ilmu tasawuf, karenanya mereka hanya mau makan dari hasil usaha tangannya sendiri dan menenun wol.
Pada mulanya ia berangggapan bahwa pengetahuan itu adalah hal-hal yang dapat ditangkap oleh panca indra. Tetapi kemudian ternyata bahwa baginya panca indra juga berdusta. Karena tidak percaya pada panca indra, al Ghazali kemudian meletakan kepercayaannya kepada akal. Alasan lain yang membuat al Ghazali terhadap akal goncang, karena ia melihat bahwa aliran-aliran yang mengunakan akal sebagai sumber pengetahuan, ternyata menghasilkan pandangan-pandangan yang bertentangan, yang sulit diselesaikan dengan akal.
Lalu al Ghazali mancari ilm al yaqini yang tidak mengandung pertentangan pada dirinya. Tiga bulan kemudian Allah memberikan nur yang disebut juga oleh Al Ghazali sebagai kunci makrifat ke dalam hatinya. Dengan demikian bagi Al Ghazali intuisi lebih tinggi dan lebih dipercaya daripada akal untuk menangkap pengetahuan yang betul-betul diyakini.

8. Ibnu Thufail

Nama lengkap Abu Bakar Muhammad bin Abdul Malik bin Muhammad bin Tufail al-Qaisi al-Andalusi (nama Latin Abubacer) ialah filsuf, dokter, dan pejabat pengadilan Arab Muslim dari Al-Andalus. Lahir di Guadix dekat Granada, ia dididik oleh Ibnu Bajjah (Avempace). Ia menjabat sekretaris untuk penguasa Granada, dan kemudian sebagai vizier dan dokter untuk Abu Yaqub Yusuf, penguasa Spanyol Islam (Al-Andalus) di bawah pemerintahan Almohad, pada yang mana ia menganjurkan Ibnu Rushd sebagai penggantinya sendiri saat ia beristirahat pada 1182. Ia meninggal di Maroko.

Ibn Thufail menunjukkan jalan untuk sampai kepada objek pengetahuan yang maha tingi atau Tuhan. Jalan pertama melalui wahyu, dan jalan kedua adalah melalui filsafat. Ma’rifat melalui akal ditempuh dengan jalan keterbukaan, mengamati, meneliti, mancari, mencoba, membandingkan, klasifikasi, generalisasi dan menyimpulkan. Jadi ma’rifah adalah sesuatu yang dilatih mulai dari yang kongkrit berlanjut kepada yang abstrak. Dan khusus menuju global. Seterusnya dilanjutkan dengan perenungan yang terus menerus. Ma’rifah melalui agama terjadi lewat pemahaman wahyu dan memahami segi batinnya dzauq. Hasilnya hanya bisa dirasakan, sulit untuk dikatakan. Tidak heran kalau muncul syatahat dari mulut seorang sufi. Jadi proses yang dilalui ma’rifat semacam ini tidak mengikuti deduksi atau induksi, tetapi bersifat intuitif lewat cahaya suci.

9. Ibnu ‘Arabi

Nama lengkapnya Muhammad Ibnu Ali ibnu Muhammad Ibnu ’Arabi al Tha’i al Hatimi. Nama ini dibubuhkan oleh Ibnu ’Arabi dalam Fihrist (katalog karya-karyanya). Orang-orang sezamannya, khususnya Sadruddin al Qunawi memanggilnya Abu’Abdullah. Banyak penulis pada umumnya menyebut dia sebagai Ibnu ‘Arabi. Nama singkat ini telah lama dipakai oleh para penulis Barat, sebagian mungkin meniru gaya pengarang Turki dan Iran, namun singkatan ini juga berfungsi untuk membedakan dirinya. Ibnu ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadan 560 H, bertepatan dengan 28 Juli 1165 m, di Mursia, Spanyol bagian tenggara. Pada waktu kelahirannya Mursia diperintah oleh Muhammad Ibnu Sa’id Ibnu Mardanisy.

Filsafat Ibn ‘Arabi tentang wujud (realitas) Tuhan, alam semesta, dan manusia.
-Pengertian Wahdat al wujud. Terdiri dari dua kata, yaitu: wahdat (sendiri, tunggal,kesatuan) sedangkan wujud (ada). Dengan demikian Wahdat al wujud berarti kesatuan wujud.
- Kata al wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan format (bentuk), antara yang nampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.


10. Mulla Shadra

Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ibrahim Shadr Al-Din  Al-Syirazi. Dia dilahirkan di Syiraz pada tahun 979 M / 1572 H. Ayahnya adalah seorang pegawai tinggi pada pemerintahan setempat. Mulla Shadra adalah murid pertama dari Syaikh Al-Bahai dan kemudian murid dari Mir Damad, pendiri Mazhab filsafat Islam Isfahan. Dibawah asuhan keduanya Shadra memiliki keunggulan ilmu di bidang filsafat, tafsir, hadits dan gnosis ( irfan ).

Ia mendefinisikn filsafat dalam dua bagian utama.yang pertma adalah bagian teoritis yang mengacu pada pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaiman adanya, dan yang kedua yaitu bagian praktis yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempyrnan yang cocok bagi jiwa.


C. Tujuan dan Fungsi Filsafat Islam

Filsafat merupakan pandangan hidup yang erat hubungannya dengan nilai-nilai sesuatu yang dianggap benar. Jika filsafat dijadikan pandangan hidup oleh sesuatu masyarakat, maka mereka berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan nyata. Jelaslah bahwa filsafat sebagai pandangan hidup suatu bangsa berfungsi sebagai tolak ukur bagi nilai-nilai tentang kebenaran yang harus dicapai. Adapun untuk mewujudkan nilai-nilai tersebut dilakukan dengan berbagai cara salah satunya lewat pendidikan.
Pada dasarnya pendidikan memerlukan landasan yang berasal dari filsafat atau hal-hal yang berhubungan dengan filsafat. Sebagai landasan karena filsafat melahirkan pemikiran-pemikiran yang teoritis tentang pendidikan dan dikatakan hubungan karena berbagai pemikiran tentang pendidikan memerlukan bantuan penyelesaiaannya dari filsafat. Jadi filsafat pendidikan adalah ilmu pendidikan yang bersendikan filsafat atau filsafat yang diterapkan dalam usaha pemikiran dan pemecahan mengenai pendidikan. Peranan filsafat yang mendasari berbagai aspek pendidikan ini sudah barang tentu merupakan kontribusi utama bagi pembinaan pendidikan. Kalau mempelajari filsafat pendidikan Islam berarti akan memasuki arena pemikiran yang mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh universal tentang pendidikan yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kepada kita semua untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan. Melakukan pemikiran pada hakikatnya adalah usaha menggerakkan semua potensi psikologi manusia seperti pikiran, kecerdasan, kemauan, perasaan, ingatan serta pengamatan panca indera tentang gejala kehidupan terutama manusia dan alam semesta sebagai ciptaan. Keseluruhan proses pemikiran tersebut didasari dengan pengalaman yang mendalam serta luas tentang problema kehidupan dan kenyataan dalam jagat raya dan dalam dirinya sendiri

 BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan

            Filsafat adalah sebuah Ilmu pengetahuan ataupun sebuah pemahaman yang bertujuan mencari sebuah kebenaran yang asli dengan menggunakan logika akal dan juga keyakinan hati, yang setiap saat bisa saja dimulai dan yang semuanya bisa saja di hentikan . Filsafat Islam itu sendiri adalah Ilmu pengetahuan yang mencari sebuah kebenaran  dengan penambahan dari sisi keislaman itu sendiri, yang bertujuan mencari kebenaran yang asli dari sisi pemahan  ma’rifat dan kewahyuan Allah SWT., unutk menggali lebih dalam, mendasar, sistematis, logis dan menyeluruh universal tentang pendidikan yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh ilmu pengetahuan agama Islam saja, melainkan menuntut kepada kita semua untuk mempelajari ilmu-ilmu lain yang relevan

            Filsafat dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu teoritis dan praktis.

      Teoritis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu sehingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikrannya benar.

       Sedangkan bagia praktis merupakan kesempurnan manusia yang mengisi potensinya untk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral.
  

DAFTAR PUSTAKA


Mulyadhi, Gerbang Kearifan, Kartanegara.
Pai.stainsalatiga.ac.id /filsafat pendidikan islam tujuan dan fungsinya, di unduh 25 oktober 2014
Sudarsono, Ilmu Filsafat,Jakarta, PT Renika Cipta.
wordpress.com/...islam/tokoh-tokoh-filsafat-islam, di unduh 25 oktober 2014